OPINI – Upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tidak cukup hanya dibangun dari inovasi pembelajaran di ruang kelas. Penjaminan mutu juga harus diikuti dengan evaluasi yang terukur, transparan, dan dapat dibandingkan lintas sekolah maupun lintas daerah. Di sinilah gagasan Tes Kemampuan Akademik atau TKA menjadi relevan sebagai jembatan antara penilaian guru yang kontekstual dengan kebutuhan tolok ukur nasional.
Secara yuridis, arah kebijakan evaluasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU ini menegaskan bahwa penilaian hasil belajar wajib dilakukan secara berkesinambungan untuk menjamin mutu pendidikan yang merata. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan juga ditegaskan perlunya evaluasi berlapis untuk melihat apakah peserta didik sudah mencapai kompetensi dasar (Kemendikbudristek, 2021).
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan penilaian yang selama ini belum terpecahkan sepenuhnya. Riset Nugroho (2023) mengungkapkan nilai rapor di satu sekolah sering kali tidak bisa disejajarkan dengan nilai rapor sekolah lain. Nilai angka yang sama bisa memiliki arti yang berbeda, tergantung standar penilaian masing-masing sekolah. Hal ini menjadi tantangan ketika proses seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya membutuhkan tolok ukur yang adil.
Sejak Ujian Nasional (UN) dihapus, Indonesia memang tidak lagi memiliki satu model evaluasi tunggal yang menekan murid secara berlebihan. Namun, tanpa instrumen pembanding, kepercayaan publik terhadap mutu raport sering kali dipertanyakan. TKA lahir untuk menutup celah ini dengan menjadi jembatan yang menghadirkan data terstandar tanpa menafikan peran penilaian guru.
Penting dicatat, TKA bukanlah ‘Ujian Nasional’ dengan baju baru. Sebaliknya, TKA bersifat opsional dan tidak menjadi penentu tunggal kelulusan. Guru tetap memegang kedaulatan dalam menilai capaian belajar siswa secara menyeluruh. TKA hanya melengkapi bukan menggantikan.
Dalam praktiknya, TKA akan berjalan berdampingan dengan asesmen nasional dan penilaian harian guru. Evaluasi pembelajaran harus bersifat komplementer. Asesmen nasional tetap dibutuhkan untuk memotret mutu sistem secara makro. Penilaian guru mengukur perkembangan anak sehari-hari di kelas. TKA memperkuat keduanya dengan memberi gambaran yang terukur dan setara lintas sekolah.
Selain menjawab kebutuhan tolok ukur seleksi, TKA juga dapat mendorong sekolah untuk melakukan refleksi. Toni Toharudin (2025) dengan tulisannya di Kompas, menekankan TKA ibarat kaca cermin. Jika hasil TKA siswa jauh berbeda dari nilai rapor, sekolah punya alasan untuk meninjau kembali proses pembelajaran dan sistem penilaiannya.
Bila menengok ke luar negeri, banyak negara maju juga menerapkan evaluasi berlapis. Di Korea Selatan ujian masuk perguruan tinggi tetap menggunakan tes nasional yang ketat. Namun, sekolah tetap punya ruang besar untuk mengembangkan kurikulum kontekstual. Sistem ini menjaga standar nasional tanpa mengekang kreativitas guru.
Model Finlandia juga sering dirujuk. Saarikoski (2022) menulis bahwa Finlandia memadukan penilaian guru dengan survei capaian belajar secara nasional. Hasilnya bukan untuk menekan siswa, melainkan menjadi umpan balik agar kebijakan pendidikan di daerah dapat diperbaiki berdasarkan data nyata. Evaluasi diposisikan sebagai alat pembelajaran, bukan alat menghukum.
Meski begitu, kita tidak boleh menutup mata pada tantangan. Tantangan terbesar terletak pada risiko kesenjangan akses. Arifin (2023) mengingatkan bahwa siswa dari sekolah dengan sarana lebih baik tentu lebih siap menghadapi TKA dibanding siswa di sekolah yang fasilitasnya terbatas. Jika tidak diantisipasi, TKA bisa memantapkan jarak antara sekolah kota dengan sekolah pinggiran.
Tantangan berikutnya adalah risiko TKA berubah menjadi beban baru yang memicu stres. Di masa lalu, Ujian Nasional sering kali memunculkan kecemasan kolektif bagi murid, guru, hingga orang tua. Untuk itu, komunikasi publik harus jelas. Toni Toharudin (2025) menegaskan TKA tidak bersifat wajib dan tidak menentukan kelulusan. TKA adalah sarana refleksi, bukan palu pemukul.
Pemerintah juga perlu memastikan infrastruktur pendukung berjalan. Hal ini mencakup penyediaan bank soal yang terbuka, simulasi TKA secara daring maupun luring, dan pelatihan guru agar mampu memanfaatkan hasil TKA sebagai bahan evaluasi (Kemendikbudristek, 2024). Sekolah di daerah tertinggal harus mendapat perlakuan afirmatif agar kesenjangan tidak melebar.
Bagian lain yang sering luput adalah pendampingan orang tua. Orang tua masih banyak yang belum memahami bahwa evaluasi terstandar bukan ancaman, melainkan alat bantu melihat kekuatan dan kelemahan belajar anak. Tanpa pendampingan di rumah, hasil TKA tidak akan berdampak optimal pada perbaikan pola belajar.
Sebagai contoh praktik positif, beberapa kabupaten di Jawa Tengah sudah mulai merintis TKA lokal berbasis kolaborasi dinas pendidikan kabupaten dan dinas provinsi. Format soalnya pun disesuaikan dengan konteks daerah. Pendekatan ini menarik karena menegaskan evaluasi tidak harus satu wajah di semua tempat (Puspindes, 2023).
Pengalaman ini selaras dengan prinsip yang diingatkan Toni Toharudin (2025), bahwa kebijakan pendidikan yang menyentuh evaluasi harus dikelola bersama. Pemerintah pusat perlu membuka ruang bagi pemerintah daerah agar tidak merasa kebijakan datang dari atas semata. Dengan rasa memiliki bersama, sekolah pun terdorong untuk serius memanfaatkan hasil TKA sebagai bahan pembelajaran.
Akhirnya, TKA memang bukan obat mujarab untuk semua persoalan evaluasi pendidikan kita. Namun, TKA bisa menjadi batu pijakan menuju sistem penilaian yang lebih adil dan transparan. Di satu sisi, standar nasional tetap dijaga agar tidak ada manipulasi penilaian. Di sisi lain, konteks lokal tetap diakui sehingga murid tidak kehilangan keunikan belajarnya.
Jalan tengah inilah yang perlu dijaga bersama. Guru, pemerintah daerah, orang tua, dan siswa harus memahami TKA sebagai sarana refleksi. Jika diolah dengan baik, TKA bisa membuka ruang perbaikan di tingkat satuan pendidikan, tanpa menjadi momok seperti Ujian Nasional di masa lalu.
Di era kompetisi global, kepercayaan pada kualitas capaian belajar anak bangsa tidak bisa hanya diukur lewat rapor semata. Tes Kemampuan Akademik hadir bukan untuk membebani, tetapi untuk menguatkan. Dengan semangat gotong royong dan keberpihakan pada pemerataan, TKA dapat meneguhkan pendidikan Indonesia yang bermutu, inklusif, dan berpihak pada keadilan.
Azry Almi Kaloko
Pemerhati Pendidikan Nasional
Ikuti berita populer lainnya di Google News SAMUDERAKEPRI
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp SAMUDERA KEPRI