OPINI – Ketika seorang anak SMP di Buleleng lebih fasih menelusuri TikTok dibanding membaca dua paragraf penuh buku pelajaran, kita diingatkan bahwa tantangan pendidikan hari ini bukan hanya soal fasilitas, tapi soal relevansi, ketahanan, dan kolaborasi. Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya informasi, capaian literasi Indonesia menurut PISA 2022 justru menunjukkan paradoks bahwa peringkat meningkat, tetapi skor menurun. Ini bukan sekadar data. Ini adalah alarm.
Kita mungkin tak sedang menghadapi bencana pendidikan yang dramatis, tapi kita sedang berada di tengah “krisis sunyi” di mana kualitas belajar turun perlahan, kepercayaan terhadap sistem merosot, dan celah antarwilayah melebar. Survei Integritas KPK 2025 menempatkan indeks integritas pendidikan kita hanya di level “korektif.” Jika integritas menjadi soal, maka bukan hanya ilmu yang terancam tak sampai, tapi nilai-nilai yang menopang pendidikan juga ikut menjadi keropos.
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Tapi konstitusi bukan sekadar janji negara, melainkan panggilan kolektif bahwasanya memang pendidikan adalah hak, tapi juga tanggung jawab bersama. Dari perspektif filosofis, pendidikan adalah ruang peradaban dibentuk, bukan hanya kurikulum diajarkan. Maka tak cukup jika urusan mutu pendidikan hanya diserahkan kepada Kementerian. Harus ada partisipasi semesta mulai dari pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat sipil, sampai orang tua di rumah.
Dalam konteks itulah, peluncuran Program Hasil Terbaik Cepat pada Hari Pendidikan Nasional 2025 menjadi momentum yang perlu direspon serius. Program ini tak hanya menjawab soal infrastruktur dan digitalisasi, tapi juga menyentuh isu kritis seperti insentif guru non-ASN yang belum tersertifikasi, dan dukungan pendidikan bagi guru-guru yang belum menyelesaikan S1. Ini adalah langkah konkret yang menyasar kualitas dari akarnya yaitu guru sebagai garda depan pendidikan.
Namun sebesar apa pun niat dan desain program pemerintah, keberhasilan tetap bergantung pada bagaimana daerah dan masyarakat menyambutnya. Pemerintah daerah tak bisa pasif menunggu alokasi. Dunia usaha bisa ikut menciptakan ekosistem belajar yang aplikatif. Komunitas lokal bisa jadi mitra literasi. Bahkan universitas pun perlu terjun mendampingi sekolah-sekolah marginal sebagai bagian dari pengabdian yang berdampak nyata. Pendidikan bermutu bukan hasil satu institusi, melainkan sinergi semesta.
Di saat bersamaan, tantangan datang dari ruang yang tak kasatmata yaitu handphone (gawai) anak-anak. Ketika siswa bisa bermain game berjam-jam tapi kesulitan memahami bacaan, ada kesenjangan atensi yang harus diselesaikan. Upaya pemerintah untuk merancang regulasi pembatasan media sosial bagi anak-anak patut didukung, karena ini bukan semata soal larangan, tapi soal perlindungan masa depan. Jika tidak disertai edukasi digital yang merata, maka kebijakan bisa menjadi formalitas belaka.
Yang perlu dipastikan ke depan adalah bahwa Program Hasil Terbaik Cepat bukan menjadi kebijakan jangka pendek yang hanya ramai saat peresmian. Pendidikan tidak bisa dikerjakan dalam logika proyek. Butuh keberlanjutan. Guru-guru yang diberi insentif hari ini harus dilatih dan didampingi secara berkala. Sarana yang dibangun harus dijaga dengan anggaran pemeliharaan yang konsisten. Evaluasi program tidak boleh hanya berupa angka output, tapi mesti menilai seberapa besar perubahan dirasakan oleh murid dan guru di ruang kelas.
Sering kali kebijakan pendidikan dibicarakan tanpa melibatkan mereka yang menjalankan langsung yaitu para guru. Padahal guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, mereka adalah penentu arah pengalaman belajar. Ketika guru terjebak dalam birokrasi, insentif yang tidak merata, dan kurangnya kesempatan peningkatan kapasitas, maka kebijakan sebesar apa pun akan kehilangan daya dorongnya. Maka untuk memastikan bahwa suara guru didengar dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan adalah prasyarat mutlak untuk pendidikan yang benar-benar bermutu.
Partisipasi semesta bukan hanya soal hadirnya banyak aktor, tetapi hadirnya kepedulian yang konsisten dan saling memperkuat. Pemerintah pusat, daerah, guru, orang tua, komunitas, dan dunia usaha, semuanya punya peran yang tidak saling menggantikan, tapi saling melengkapi. Inilah saatnya pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai tanggung jawab satu kementerian, melainkan sebagai ekosistem yang tumbuh bersama. Karena pada akhirnya, mutu pendidikan hari ini adalah cerminan bentuk cinta kita kepada generasi yang akan menggantikan kita esok hari.
Momentum Hari Pendidikan Nasional bukan hanya seremoni tahunan, tetapi cermin keberanian kita untuk merefleksi dan bertindak. Ini bukan hanya soal mencetak generasi cerdas secara akademik, tapi juga membentuk warga yang jujur, adaptif, dan peduli pada sekitarnya. Jika kita ingin masa depan yang lebih adil dan beradab, maka partisipasi semesta dalam pendidikan harus dimulai hari ini, dimulai dari meja kebijakan hingga ruang makan keluarga, dari pusat kota hingga pelosok desa.
Asry Almi Kaloko
Pemerhati Pendidikan
Ikuti berita populer lainnya di Google News SAMUDERAKEPRI
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp SAMUDERA KEPRI